Kesenian
Sisingaan merupakan bentuk ungkapan rasa ketidakpuasan, ketidaksenangan atau
upaya pemberontakan dari masyarakat Subang kepada pihak penjajah. Perwujudan
dari rasa ketidaksenangan tersebut digambarkan dalam bentuk sepasang sisingaan,
yaitu melambangkan kaum penjajah Belanda dan Inggris. Kedua Negara penjajah
tersebut menindas masyarakat Subang, yang dianggap bodoh dan dalam kondisi
miskin, sehingga para seniman berharap suatu saat nanti generasi muda harus
bisa bangkit, mengusir penjajah dari tanah air dan masyarakat bisa menikmati
kehidupan yang sejahtera.
Kesenian
sisingaan juga merupakan kesenian tradisional masyarakat Subang yang bersifat
helaran dan bentuk arak-arakan, pada waktu khitanan. Namun pada masa sekarang
kesenian sisingaan digunakan pula pada acara-acara khusus, seperti penyambutan
tamu, hari-hari besar nasional, ulang tahun lembaga atau daerah. Dalam kesenian
ini terdapat unsur seni tari, seni karawitan, seni sastra dan seni rupa.
Istilah
sisingaan itu sendiri diambil dari kata singa, Meskipun binatang singa tidak
terdapat di daerah sunda, tetapi kata singa sudah dikenal oleh masyarakat
sunda. Hal ini dapat ditelusuri dari beberapa nama yang menggunakan kata singa,
seperti: Singapura dan Jasinga yang sekarang merupakan nama tempat
yang terdapat di Jawa Barat. Kemudian nama kereta Singa Barong yang sekarang merupakan
peninggalan dari keraton kasepuhan Cirebon.
Ada
beberapa istilah lain yang digunakan masyarakat Subang untuk kesenian
sisingaan, jauh sebelum para perumus membakukan istilah yang disepakati pada
pertemuan seminar pada tahun 1988. Istilah-istilah yang dimaksud antara lain:
Pergosi (Persatuan Gotong Singa), Odong-Odong (Alat usungan), dan Singa Depok
(mengambil istilah dari gerakan pengusung sisingaan, yaitu melakukan gerakan
depok yang mengandung pengertian duduk). Sampai saat ini, kesenian sisingaan
sebagai hasil perumusan seminar masih tetap dipakai masyarakat Subang.
Sementara istilah-istilah lain dari luar istilah kesenian sisingaan masih
dipakai di daerah tertentu saja.
Sejarah
Sisingaan
Sejarah asal-usul Sisingaan mulai
muncul pada saat kaum penjajah menguasai Subang. Yakni pada masa pemerintahan
Belanda tahun 1812. Kabupaten Subang pada saat itu dikenal dengan Doble Bestur, dan dijadikan kawasan
perkebunan di bawah perusahaan P&T Lands (Pamanoekan en Tjiasemlanden).
Pada
saat Subang di bawah kekuasaan Belanda, masyarakat setempat mulai diperkenalkan
dengan lambang Negara Belanda yakni Crown atau mahkota kerajaan. Dalam waktu
yang bersamaan daerah Subang juga di bawah kekuasaan Inggris, yang
memperkenalkan lambang negaranya yakni singa.
Sehingga secara administratif daerah
Subang terbagi menjadi dua bagian, yakni secara politis dikuasai Belanda
dan secara ekonomi dikuasai oleh Inggris.
Masyarakat
Subang saat itu mendapatkan tekanan secara politis, ekonomis, social, dan
budaya dari pihak Belanda maupun Inggris. Namun masyarakat tidak tinggal diam,
mereka melakukan perlawanan, perlawanan tersebut tidak hanya berupa perlawanan
fisik, namun juga perlawanan yang diwujudkan dalam bentuk kesenian. Bentuk
kesenian tersebut mengandung Silib (yakni
pembicaraan yang tidak langsung pada maksud dan tujuan), Sindir (ironi atau sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan), Siloka (kiasan atau melambangkan), Sasmita (contoh cerita yang mengandung
arti atau makna).
Dengan
demikian masyarakat Subang bias mengekspresikan atau mewujudkan perasaan mereka
secara terselubung. Melalui sindiran, perumpamaan yang terjadi atau yang
menjadi kenyataan pada saat itu. Salah satu perwujudan atau bentuk ekspresi
masyarakat Subang, dengan menciptakan salah satu bentuk kesenian yang kemudian
dikenal dengan nama Sisingaan.
Musik pengiring sisingaan pada
awalnya cukup sederhana, antaralain kendang indung (2 buah), kulanter, boning
(ketuk), tarompet, goong, kempul, kecrek. Karena sisingaan merupakan
pertunjukan helaran, music pengiringnya dimainkan sambil berdiri, digotong dan
diikatkan pada tubuh penabuhnya. Dalam perkembangan sisingaan selanjutnya,
disertakan pula juru kawih dengan lagu-lagu, baik vocal maupun instrumental,
antara lain lagu keringan, lagu kidung, lagu titipatipa, lagu gondang, lagu
kasreng, lagu-lagu selingan (siyur, tepang sono, awet rajet, serat salira, madu
dan racun, pria idaman, goyang dombret, waru doyong dan lain-lain), lagu gurudugan,
lagu mapay roko atau marsan (sebagai lagu penutup). Lagu-lagu dalam sisingaan
tersebut diambil dari lagu-lagu kesenian ketuk tilu, doger dan kliningan.
Ada
beberapa makna yang terkandung dalam seni pertunjukan sisingaan, antara lain: Makna
sosial,masyarakat Subang percaya bahwa jiwa kesenian rakyat sangat berperan
dalam diri mereka, seperti egaliter, sponta, dan rasa memiliki terhadap setiap
setiap jenis seni rakyat yang muncul. Makna treaktikal, karena jika dikaji dari
penampilannya sisingaan ini, tak diragukan lagi, sangat teatrikal, apalagi
setelah berbagai variasi ditambahkan, seperti jajangkungan dan lain-lain. Makna
komersial, Karena sisingaan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka, maka
munculah puluhan bahkan ratusan kelompok sisingaan dari berbagai desa untuk
ikut serta dalam festival. Mereka melihat hal ini, karena pemenang festival
akan mendapatkan peluang bisnis yang menggiurkan, sama halnya dengaan seni Bajidoran
. Makna universal, Karena di setiap etnik dan bangsa seringkali seringkali di
jumpai pemujaan terhadap binatang singa (terutama Eropa dan Afrika). Meskipun
di Jawa barat tidak terdapat habitat singa, Namun dengan konsep kerakyatan,
dapat saja singa muncul bukan dihabitatnya namun diterima sebagai miliknya. Ini
terbukti pada kasus sisingaan. dan makna spiritual, karena sisingaan dipercayai
oleh masyarakatnya (penanggapnya atau penyelenggara) untuk memperoleh
keselamatan (salametan) atau syukuran.
Penulis : Rere Lailatus Sholiha
Nim : 18123027
Sumber : 1. Perpustakaan ISBI Bandung :Skripsi Nunung Haryana (STSI 1998) Tarompet Sisingaan ( Suatu Tinjauan Deskriptif ), Dalam buku berjudul Desikripsi Kesenian Jawa Barat ( Ganjar & Arthur S.Nalan ).
Dokumentasi : Mochammad Viqie.
1 komentar:
Terimakasih infonya min semoga bermanfaat🙏
Posting Komentar