Longser
Longser adalah salah satu jenis
teater rakyat Jawa Barat yang hidup dan berkembang di daerah Priangan, terutama
di daerah Bandung. Meneliti riwayat longser harus melihat kurun waktu di
Bandung sekitar tahun 1915, ketika tumbuh dan berkembang pertunjukan doger
(nama dari sebuah tontonan, dimana ronggengnya adalah anak perawan, dan
biasanya menari cukup lama atau ngadoger). Tercatat ada suatu perubahan dari
doger menjadi lengger, lalu menjadi longser. Ini adalah suatu kemungkinan.
Walaupun di sini kita mencatat pula adanya kirata bahwa longser berasal dari
kota long (melong = memandang) dan ser (suatu hasrat atau gairah seksual).
Tapi, ini nampaknya terlalu dipaksakan.
Sruktur
Longser biasanya terdiri dari :
1.
Tatalu dengan lagu Gonjing sebagai bewara
bahwa pertunjukan Longser
2. Kidung sebagai bubuka yang dianggap
memiliki kekuatan magis untuk upaya pertunjukan lancar juga disisi lain kidung
dipakai lagu persembahan pada arwah nenek moyang kidung biasanya dinyanyikan
oleh ronggeng yang perkembangannya dinyanyikan oleh Sinden.
3. Munculnya penari-penari yang diawali
dengan wawayangan ( tarian perkenalan para ronggeng dengan memperkenalkan para
penari dengan julukan seperti si Batresi Oray, Si Asoy,si Geboy. goyang pinggul
diistilahkan dengan eplok cendol , tari yg dibawakan adalah ketuk tilu /
Cikeruhan
4. Penampilan bobodoran dengan musik dan
tarian biasanya bodor menirukan tarian ronggeng / kata-kata sehingga penonton
tertawa
5. Pertunjukan Longser memainkan sebuah
lakon yang diambil dari kehidupan seharian seperti perkawinan,
pertengkaran, perceraian . Setiap cerita dibawakan dengan penuh canda, atau
banyolan khas lokal.
Musik
Longser sebelum berkembang terdiri dari :
1.
kendang
2.
terompet
3.
rebab
4.
saron
5.
goong
6.
kecrek
Perkembangan
selanjutnya menjadi lengkap :
1.
kendang
2.
bonang
3.
rebab
4.
rincik
5.
gambang
6.
saron 1 saron 2
7.
kecrek
8.
jengklong
9. goong
10. ketuk
Proses tumbuh-kembang longser tidak
terlepas dari nama Bang Tilil (tilil = nama burung kecil yang terdapat di
daerah rawa). Nama aslinya Akil, namun nama asli biasanya kalah popular
daripada nama bama julukan, sebagaimana umumnya seniman teater rakyat lainnya
di Jawa Barat. Dalam kurun waktu 1920-1960, longser Bang Tilil mencapai puncak
kejayaan, terbukti dengan hadirnya berbagai kelompok longser lain di luar
kelompok Bang Tilil Misalnya, Bang Soang, Bang Kayu, Bang Timbel, Bang Cineur
(dari Cimahi), Bang Kayu (Batu Karut), Bang Auf (dari Kamasan).
Sumanta (dari Cikuda). Kemudian,
baru tahun 1939 Ateng Japar membentuk Longser Pancawarna, memisahkan diri dari
Longser Bang Tilil. Ada semacam perjanjian tak tertulis pembagian wilayah
pertunjukan antara Bang Tilil dengan Ateng Japar. Bang Tilil menguasai wilayah
pertunjukan kota Bandung (Stasiun, Alun-alun, Tegal Lega, Cicadas, Andir,
Cikawao, dan wilayah lain di kota Bandung). Sementara Longser Ateng Japar
menguasai wilayah luar kota Bandung (Pangalengan, Cililin, Banjaran, Soreang,
dan lain-lain). Akibat penjajahan Jepang, banyak seniman longser mengungsi.
Praktis kegiatan berkesenian mereka surut sejak itu. Baru pada tahun 1952,
ketika Ateng Japar kembali ke Bandung dan pengungsiannya di Garut, Longser
kembali mengisi hiburanbagi masyarakat Bandung dan sekitarnya.
Sementara itu, Longser Ateng Japar
tetap eksis berkeliling di wilayah pertunjukannya, walaupun tidak lagi seperti
pada masa kejayaanya dahulu. Dewasa ini, Longser Ateng Japar tidak Lagi
memiliki wilayah pertunjukan yang pasti. Bahkan dari hari ke hari semakin
surut, walaupun belum dapat dikatakan punah sama sekali.
Kembali ke longser, yang memiliki
waktu pertunjukan tertentu. Secara umum dapat dikatakan bahwa waktu pertunjukan
longser hampir sama dengan jenis teater rakyat lainnya. Yakni semalam suntuk.
Namun, longser ditampilkannya antara pukul 20.00 WIB dan pukul 22.00 WIB.
Awalnya longser menggunakan arena atau lapangan terbuka dengan penerangan oncor
di tengahnya, oncor masih digunakan, tetapi lebih banyak di tampilkan di
panggung proscenium di dalam gedung pertunjukan.
Sisi sederhana dari longser adalah
tata rias dan busananya . Tata rias dan busana longser tidak menonjol. Seperti
biasa, para ronggengnya memakai tata rias yang sederhana tetapi cukup menor
(mencolok). Sementara itu, tata rias untuk para bodor tipis dan seadanya.
Bahkan kadangkala tidak berias sama sekali.
Penulis : Azhar Hidayat
NIM : 18123042
Sumber
: Buku Deskripsi Kesenian Jawa Barat
Dokumentasi
: LISSWA SMA PGRI 1 Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar