Goong
Renteng Embah Baandong
Goong renteng Embah
Bandong adalah salah satu jenis gamelan khas masyarakat Sunda yang berusia sudah
cukup tua, kesenian ini berasal darai desa Banjaran. Mengapa dikatakan
Banjaran? Karena , kesenian ini berada disitus
perbatasan antara desa Batukarut dan Lebakwangi kecamatan
Arjasari, kabupaten Bandung, sehingga sering disebut Desa Banjaran. Menurut
wawancara saya dengan Mayang A. Nurzaini
bahwa ia telah melakukan wawancara langsung dengan salah seorang pengurus (Pupuhu/ketua) Sasaka Waruga Pusaka, yaitu Bapak H. Wawan. Menurut sejarah, dahulu
ada seorang yang bernama Embah Manggung Dikusuma ia adalah seseorang yang haus
ilmu-ilmu gaib, kemudian datang ke Desa Batukarut-Lebakwangi dan berguru kepada
Embah Panggung sehingga dapat mengalahkan para kesatria yang ada didesa
tersebut. Setelah itu Embah Manggung meminta izin kepada gurunya untuk pulang
karena, ia belum meminta izin kepada orangtuanya untuk mengatakan bahwa ia
betah didesa tersebut dan akan kembali lagi. Singkat cerita, setalah ia diizinkan
untuk kembali dari Bandung ia membawa seperangkat goong renteng ke Desa
Lebakwangi. Walaupun cerita ini belum diketahui kebenarannya tetapi cerita ini
sudah adaa sejak dahulu dan dipercaya oleh masyarakat.
Goong renteng adalah gabungan dari kata “goong” merupakan
bahasaa Sunda kuno yang berarti gamelan dan “renteng” berkaitan dengan penempatan penclon-penclon kolenang (bonang), yang diletakkan secara berderet/berjajar atau
ngerenteng dalam Bahasa Sunda. Perangkat goong renteng terdiri dari beberapa waditra yaitu; bonang, saron, kecrek, beri, kempul dan goong. Dalam pertunjukan tertentu kadang juga dapat menggunakan waditra
kendang. Uniknya, untuk mendapatkan suara yang yang pas kesenian ini harus
proses pelarasan terlebih dahulu menggunakan tanah liat yang ditekan-tekan
menggunakan panakol kemudian
dipukul-pukul untuk mengetahui suaranya sudah surup atau belum. Tanah liat
digunakan untuk menutupi lubang-lubang kecil yang terdapat di penclon goong renteng yang berbahan
dasar besi. Setelah itu, wilahan penclon disusun pada ancak yang sudah
didasari oleh daun pisang manggala dengan tujuan agar suaranya lebih enak
didengar. Setelah itu sebelum dimaikan goong renteng diberi olesan minyak dan
ditaburi daun kering sebelum ditabuh, perawatan ini sudah dipercaya
turun-temurun sejak dahulu.
Kemudian lagu-lagu yang
dibawakan ada empat belas buah yaitu;
1.
Ganggong : Menceritakan keadaan jaman
yang seisinya besar, serba luas.
2.
Gonjing Patala : Menceritakan gempa
vulkanik ketika gunung sunda meletus.
3.
Pangkur : Menceritakan setelah gunung
sunda meletus.
4.
Galumpit naek angina-angin :
Menceritakan permukaan tanah bagian selatan gunung sunda retak bahkan amblas.
5.
Maleber : Menceritakan permukaan tanah
acak-acakan amblas kea rah utara dan selatan sehingga terbentk gunung Malabar.
6.
Papadanan : Menceritakan bagian tahan
yang amblas menjadi talagahiang.
7.
Bango Cocong (Pucung Lingkup) : V
hewan-hewan yang hidup di talagahiang saat itu.
8.
Magatruk : Menceritakan ayah dan anak yang sedang bingung memikirkan hal ilmu
yang diterima dari wangsit.
9.
Asmarandana : Menceritakan ayah dan anak
yang sedang ganderung oleh ilmu.
10. Bujang
Anom : Menceritakan pemuda ahli bertapa dating ke wilayah
Tanjungwangi/Batukarut-Lebakwangi
11. Joher
(Galatik Nunut) : Menceritakan mengenai ilmu berupa sumber segalanya/cahaya
dari sumber cahaya.
12. Boyong
: Menceritakan berhasilnya kebandangan/keboyongan/terbawa oleh ilmu yang
dimaksud.
13. Sodor
: Menceritakan pemuda ahli bertapa menyampaikan hal ilmu yang didapaatkannya
kepada sang ayah dan anak.
14. Seseregan
: Menceritakan rasa bahagia meraih ilmu yang diharapkan.
hagia
meraih ilmu yang diharapkan.
Kesenian ini biasanya ditampilkan
setahun satu kali pada saat 12 Rabiul
awal pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW didesa Batukarut-Lebakwangi.
Masyarakat sekitar menggunakan kesenian ini untuk ngerumat atau biasa dikenal sebagai kegiatan ngeruat. Hal ini bertujuan untuk
mensucikan dan membersihkan benda-benda pusaka yang disimpan rapih
disitus Bumi Alit Kabuyutan yang
berada dibawah pengolahan organisasi Sasaka
Waruga Pusaka. Sebelum kegiatan ngarumat
berlangsung seperangkat gamelan itu dibersihkan terlebih dahulu baru ditabuh
karena, hanya pada kegiatan ngerumat-lah
alat itu dapat dimainkan.
Prosesi tersebut
dimulai sejak pagi oleh para sesepuh yang
diawali dengan membersihkan barang-barang pusaka yang disimpan Bumi Alit Kabuyutan, setelah itu
dilanjutkan ngerumat goong renteng
dipinggiri pendopo Bumi Alit Kabuyutan.
Beberapa sesepuh lainnya membersihkan perangkat goong renteng berupa penclon-pencelonkecil menggunakan air
dari beberapa sumur yang berbeda, jeruk nipis, tebu, dan honje untuk menghilangkan karat pada barang-barang pusaka dan goong
renteng itu sendiri. Setelah itu dikeringkan menggunakan kain berwarna putih
lalu ditaburi sejenis bubuk daun kering dan diberi minyak wangi kemudian,
dibawa ke pendopo untuk dilaraskan terlebih dahulu.
Uniknya menurut
informasi yang saya dapatkan pada saat prosesi ngerumat dilaksanakan banyak anak-anak yang berada dikolong tempat
pelaksanaan berlangsung dan banyak warga yang berdatangan untuk meminta air
bekas cucian benda pusaka kemudian dimasukan kebotol air mineral atau ember
yang mereka bawa dari rumah masing-masing konon katanya jika air yang mereka
dapatkan digunakan untuk cuci muka atau mandi maka air tersebut dappat menambah
kecerdasan, mudah mendapat jodoh dan membuat tanah menjadi subur.
Penulis : Asih
Trilestari
Nim :
18123015
Sumber
: - wawancara dengan Mayang Amalia Nurzaini (mahasiswa ISBI Bandung smt VI)
-Buku Deskripsi Kesenian Jawa Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar