Kesenian Bajidor
A. Sejarah kesenian bajidoran
Pertumbuhan kesenian di awali di kabupaten
Subang berawal sekitar tahun 1955. Dengan munculnya kerinduan mantan pamogoran
(penggemar kesenian ketuk tilu, doger, tayuban dan tanjidor) untuk menari di
pakalangan. Kerinduan itu disalurkan melalui pertunjukan wayang golek, mereka
menari berpolakan tayuban dan ketuk tilu. Fenomena ini terjadi hingga tahun
1965.
Pada tahun 1955-1965-an cara penonton meminta
lagu pada pesinden menggunakan amplop tanpa diisi dengan uang, namun seiring
dengan perkembangan zaman pada tahun 1957-an permintaan lagu pada pesinden atau
juru kawih tidak lagi menggunakan amplop tetapi menggunakan tiiran yang berisi
uang beserta kertas permintaan lagu yang ditancapkan di jagat (batang pisang)
pada pertunjukan wayang golek.
Perkembangan selanjutnya kegiatan menari
dalam pertunjukan wayang golek dialihkan pada pertunjukan kiliningan-bajidoran,
namun hal ini mengalami kefakuman karena adanya gejolak politik pada waktu itu.
Bajidor mulai muncul lagi pada tahun 1970-an dengan lagu lagu yang terkenal
pada waktu itu adalah Ekek paeh, Banondari, Ayun ambing, Coyor panon, Entog mulang,
Gaplek dan lain lain. Cara membawakan lagu lagunya juru kawih mulai banyak
menyebut nama nama orang penggemarnya atau para bajidoris. Atas dasar hal itu
muncullah istilah lagu tilang ( lagu yang hampir semua bagian syair lagunya
dipakai untuk menyebut nama nama orang). Jadi setiap orang yang disebut namanya
oleh para juru kawih harus memberi uang jaban (cara memberikan uang dari para
bajidor atau penggemar lainnya kepada juru kawih atau nayaga) sering disebut
juga sebagai saweran.
Di kabupaten Subang pada tahun 1980-an banyak
bermunculan grup-grup kesenian bajidoran dengan sebutan jaipongan atau jaipong
modern. Persaingan terus berjalan baik dari konteks pertunjukan, peralatan atau
waditra yang di pakai maupun personil dari group tersebut. Tahun 1990-an volume
pertunjukan bajidoran semakin semarak, sedangkan lagu lagu yang disajikan
selain lagu sunda juga lagu lagu dangdut mulai di nyanyikan oleh pesinden /juru
kawih.
B.
Kehidupan Kesenian Bajidoran di Masyarakat
Peristiwa hajat baik berupa hajat bumi (hajat
kampung), hajat perkawinan maupun hajat khitanan merupakan hal penting bagi
para group kesenian, karena pada dasarnya peristiwa tersebut tidak terlepas
dari unsur hiburan. Di kabupaten Subang pada saat ini yang paling tinggi adalah
pertunjukan kesenian bajidoran. Selain kabupaten subang, bajidoran juga berkembang
di daerah lainnya seperti Bandung, karawang Purwakarta, Bekasi dan daerah
lainnya. Berikut adalah nama nama sebagian group kesenian bajidoran di berbagai
daerah Jawa Barat :
•Gileur
kameumeut- Subang
•Layung
group- Subang
•Cicih
Cangkurileung group- Subang
•Robot
group- Subang
•Putra
mandiri jaya (PMJ)- Karawang
•Acep
Dartam group- Karawang
•Gurat
Khayon- Bandung
•Enok
pelor group- Bandung
•Euis
Walet- Purwakarta
•Melinda
group- Bekasi
•Sinden
Dalam Pertunjukan Bajidoran
Secara historis sinden berasal dari ronggeng
(penari wanita pada pertunjukan ketuk tilu, tayuban, doger, tanjidor) yang
dalam perkembangan terakhir yaitu setelah adanya Wayang golek dan kiliningan,
istilah ronggeng diganti dengan sebutan sinden.
Fungsi
sinden atau juru kawih pada pertunjukan bajidoran menurut Suwarsih meliputi
beberapa aspek, diantaranya selain mampu membeberkan lagu juga harus mampu
membaca situasi daerah, mengetahui perkembangan zaman serta mengetahui selera
penonton.
Untuk memenuhi selera para penggemar
bajidoran, juru kawih harus bisa melayani bermacam macam permintaan lagu baik
lagu tradisi, wanda anyar maupun lagu lagu dangdut. Para juru kawih yang
berjejer di atas panggung mempunyai tugas masing masing, ada yang menguasai
tariannya saja, ada pula yang bertugas sebagai pembawa lagu lagu.
•
Nayaga dalam pertunjukan bajidoran
Nayaga disini berfungsi sebagai pemain alat
musik atau waditra dalam kesenian bajidoran. Biasanya bajidoran menggunakan
seperangkat alat gamelan dalam pertunjukannya, ada pula yang menggunakan alat
modern seperti organ tunggal untuk mengiringi lagu lagu dangdut namun itu
jarang digunakan. Alat musik atau waditra yang sangat menonjol dalam kesenian
bajidoran adalah kendang karena kendang yang menentukan pola gerak para penari
bajidor. Ada satu istilah nama tepakan kendang dengan sebutan tepak Gulinggeman
sering dikenal juga sebagai gerakan mencug untuk penarinya, setiap lagu yang
diakhiri dengan tepakan gulinggeman para bajidor yang sedang menari harus
memberikan uang saweran.
C.
Etika dan Estetika Kesenian Bajidoran
Menurut
Dewan Kesenian Kota Bandung khususnya Komisi Tradisi, Abah Enjoem, dalam sebuah
penyelenggaraan bajidoran terdapat pakem-pakem atau aturan aturan yang harus diterapkan. Ketika si Bajidor
(penari simpatisan) tampil di depan panggung dengan lagu yang dia ajukan, maka
Bajidor yang lain tidak boleh turut serta, harus menunggu sampai selesai, Hal
tersebut yang nantinya diharap akan menciptakan ketertiban saat pagelaran
kesenian bajidoran berlangsung. Dan para bajidoris (penari simpatisan)
melakukan tarian di bawah panggung bukan diatas panggung, karena di atas
panggung di khususkan untuk para juru kawih dan nayaga.
Meski
begitu, salah satu tokoh Abah Enjoem berpendapat bahwa kesenian bajidoran yang
berkembang di daerah Bandung dan
kesenian jaipongan yang berkembang di daerah Subang serta Karawang, memiliki
perbedaan yang sangat jelas. Jika kesenian bajidoran Subang dan Karawang masih
menerapkan pakem yang telah dibentuk sejak kesenian tersebut ada, tetapi hal
itu tidak diberlakukan dalam pagelaran kesenian bajidoran di kota Bandung.
Maka, tak jarang jika pada saat kesenian bajidoran ini berlangsung berujung
dengan keributan.
Kesenian
bajidoran juga memiliki nilai nilai estetika. Hal tersebut dibuktikan dengan
banyaknya jurus bela diri yang ditampilkan bajidor saat pagelaran bajidoran.
Tak hanya itu, Abah Enjoem berpendapat, bajidoran bukan hanya sekadar memiliki
nilai hiburan, namun juga memupuk rasa hormat, silaturahmi, dan kekeluargaan
antara bajidor satu dan bajidor lainnya.
Penulis : Jaka Kusumah
NIM : 18123022
Sumber : Skripsi Junengsih thn 1997
NIM : 18123022
Sumber : Skripsi Junengsih thn 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar