Kamis, 16 Mei 2019

Kesenian Bajidoran

Kesenian Bajidor


A. Sejarah kesenian bajidoran
  Pertumbuhan kesenian di awali di kabupaten Subang berawal sekitar tahun 1955. Dengan munculnya kerinduan mantan pamogoran (penggemar kesenian ketuk tilu, doger, tayuban dan tanjidor) untuk menari di pakalangan. Kerinduan itu disalurkan melalui pertunjukan wayang golek, mereka menari berpolakan tayuban dan ketuk tilu. Fenomena ini terjadi hingga tahun 1965.
  Pada tahun 1955-1965-an cara penonton meminta lagu pada pesinden menggunakan amplop tanpa diisi dengan uang, namun seiring dengan perkembangan zaman pada tahun 1957-an permintaan lagu pada pesinden atau juru kawih tidak lagi menggunakan amplop tetapi menggunakan tiiran yang berisi uang beserta kertas permintaan lagu yang ditancapkan di jagat (batang pisang) pada pertunjukan wayang golek.
  Perkembangan selanjutnya kegiatan menari dalam pertunjukan wayang golek dialihkan pada pertunjukan kiliningan-bajidoran, namun hal ini mengalami kefakuman karena adanya gejolak politik pada waktu itu. Bajidor mulai muncul lagi pada tahun 1970-an dengan lagu lagu yang terkenal pada waktu itu adalah Ekek paeh, Banondari, Ayun ambing, Coyor panon, Entog mulang, Gaplek dan lain lain. Cara membawakan lagu lagunya juru kawih mulai banyak menyebut nama nama orang penggemarnya atau para bajidoris. Atas dasar hal itu muncullah istilah lagu tilang ( lagu yang hampir semua bagian syair lagunya dipakai untuk menyebut nama nama orang). Jadi setiap orang yang disebut namanya oleh para juru kawih harus memberi uang jaban (cara memberikan uang dari para bajidor atau penggemar lainnya kepada juru kawih atau nayaga) sering disebut juga sebagai saweran.
 Di kabupaten Subang pada tahun 1980-an banyak bermunculan grup-grup kesenian bajidoran dengan sebutan jaipongan atau jaipong modern. Persaingan terus berjalan baik dari konteks pertunjukan, peralatan atau waditra yang di pakai maupun personil dari group tersebut. Tahun 1990-an volume pertunjukan bajidoran semakin semarak, sedangkan lagu lagu yang disajikan selain lagu sunda juga lagu lagu dangdut mulai di nyanyikan oleh pesinden /juru kawih.

B. Kehidupan Kesenian Bajidoran di Masyarakat
 Peristiwa hajat baik berupa hajat bumi (hajat kampung), hajat perkawinan maupun hajat khitanan merupakan hal penting bagi para group kesenian, karena pada dasarnya peristiwa tersebut tidak terlepas dari unsur hiburan. Di kabupaten Subang pada saat ini yang paling tinggi adalah pertunjukan kesenian bajidoran. Selain kabupaten subang, bajidoran juga berkembang di daerah lainnya seperti Bandung, karawang Purwakarta, Bekasi dan daerah lainnya. Berikut adalah nama nama sebagian group kesenian bajidoran di berbagai daerah Jawa Barat :
•Gileur kameumeut- Subang
•Layung group- Subang
•Cicih Cangkurileung group- Subang
•Robot group- Subang
•Putra mandiri jaya (PMJ)- Karawang
•Acep Dartam group- Karawang
•Gurat Khayon- Bandung
•Enok pelor group- Bandung
•Euis Walet- Purwakarta
•Melinda group- Bekasi


•Sinden Dalam Pertunjukan Bajidoran
 Secara historis sinden berasal dari ronggeng (penari wanita pada pertunjukan ketuk tilu, tayuban, doger, tanjidor) yang dalam perkembangan terakhir yaitu setelah adanya Wayang golek dan kiliningan, istilah ronggeng diganti dengan sebutan sinden.
Fungsi sinden atau juru kawih pada pertunjukan bajidoran menurut Suwarsih meliputi beberapa aspek, diantaranya selain mampu membeberkan lagu juga harus mampu membaca situasi daerah, mengetahui perkembangan zaman serta mengetahui selera penonton.
 Untuk memenuhi selera para penggemar bajidoran, juru kawih harus bisa melayani bermacam macam permintaan lagu baik lagu tradisi, wanda anyar maupun lagu lagu dangdut. Para juru kawih yang berjejer di atas panggung mempunyai tugas masing masing, ada yang menguasai tariannya saja, ada pula yang bertugas sebagai pembawa lagu lagu.
• Nayaga dalam pertunjukan bajidoran
 Nayaga disini berfungsi sebagai pemain alat musik atau waditra dalam kesenian bajidoran. Biasanya bajidoran menggunakan seperangkat alat gamelan dalam pertunjukannya, ada pula yang menggunakan alat modern seperti organ tunggal untuk mengiringi lagu lagu dangdut namun itu jarang digunakan. Alat musik atau waditra yang sangat menonjol dalam kesenian bajidoran adalah kendang karena kendang yang menentukan pola gerak para penari bajidor. Ada satu istilah nama tepakan kendang dengan sebutan tepak Gulinggeman sering dikenal juga sebagai gerakan mencug untuk penarinya, setiap lagu yang diakhiri dengan tepakan gulinggeman para bajidor yang sedang menari harus memberikan uang saweran.

C. Etika dan Estetika Kesenian Bajidoran
Menurut Dewan Kesenian Kota Bandung khususnya Komisi Tradisi, Abah Enjoem, dalam sebuah penyelenggaraan bajidoran terdapat pakem-pakem atau aturan aturan  yang harus diterapkan. Ketika si Bajidor (penari simpatisan) tampil di depan panggung dengan lagu yang dia ajukan, maka Bajidor yang lain tidak boleh turut serta, harus menunggu sampai selesai, Hal tersebut yang nantinya diharap akan menciptakan ketertiban saat pagelaran kesenian bajidoran berlangsung. Dan para bajidoris (penari simpatisan) melakukan tarian di bawah panggung bukan diatas panggung, karena di atas panggung di khususkan untuk para juru kawih dan nayaga.
Meski begitu, salah satu tokoh Abah Enjoem berpendapat bahwa kesenian bajidoran yang berkembang di daerah  Bandung dan kesenian jaipongan yang berkembang di daerah Subang serta Karawang, memiliki perbedaan yang sangat jelas. Jika kesenian bajidoran Subang dan Karawang masih menerapkan pakem yang telah dibentuk sejak kesenian tersebut ada, tetapi hal itu tidak diberlakukan dalam pagelaran kesenian bajidoran di kota Bandung. Maka, tak jarang jika pada saat kesenian bajidoran ini berlangsung berujung dengan keributan.
Kesenian bajidoran juga memiliki nilai nilai estetika. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya jurus bela diri yang ditampilkan bajidor saat pagelaran bajidoran. Tak hanya itu, Abah Enjoem berpendapat, bajidoran bukan hanya sekadar memiliki nilai hiburan, namun juga memupuk rasa hormat, silaturahmi, dan kekeluargaan antara bajidor satu dan bajidor lainnya.

Penulis   : Jaka Kusumah
NIM       : 18123022
Sumber  : Skripsi Junengsih thn 1997

Tidak ada komentar: